Kami Mengucapkan Terimakasih kepada Semua Pihak yang telah membantu Menyukseskan Perhelatan Akbar
Olimpiade Sains Nasional (OSN) 2009

di Jakarta 3 s.d. 9 Agustus 2009

Sampai Ketemu di OSN Tahun 2010 di Medan, Sumatera Utara

Headline News

NATIONAL NEWS

Translate Here

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic

Nilai Tukar Rupiah Hari Ini

Sabtu, April 18, 2009

Ukuran Rasionalitas di Balik Tokoh


Oleh Suwardiman & Toto Suryaningtyas

KOMPAS.com - Nyaris bisa dipastikan Partai Demokrat akan menggeser dominasi kekuatan partai besar pada pemilu kali ini. Jika hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei sesuai dengan hasil hitung resmi KPU nanti, sekali lagi peta kekuatan politik nasional berubah. Bagaimanakah gambaran karakter dan perilaku pemilih?

Jika Partai Demokrat betul unggul kali ini, hal itu akan menjadi salah satu bukti merapuhnya basis massa parpol besar selama ini. Dalam dua rezim pemilu terakhir perlahan tapi pasti, basis massa partai-partai besar yang mapan dan memiliki jaringan kuat tergerus kekuatan politik baru. Tiga kali pemilu berlangsung pascareformasi, tiga kali pula peta dominasi kekuatan politik berubah.

Kecenderungan memudarnya kekuatan partai-partai mapan (Partai Persatuan Pembangunan, Partai Golkar, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), yang sudah eksis sebelum orde liberalisasi politik 1999, bisa jadi berpusar pada dua kemungkinan karakteristik: pemilih memang cenderung labil atau perilaku pemilih yang lebih retrospektif.

Voters are not fools! Demikian kata Valdimer O Key dalam bukunya The Responsible Electorate: Rationality in Presidential Voting 1936-1960 (1966). Pemilih yang menggunakan hak pilihnya dengan sadar, secara langsung atau tidak langsung, menetapkan pilihan mereka secara retrospektif.

Setiap pemilih sedikit banyak akan menilai apakah kinerja pemerintah yang menjalankan pemerintahan pada periode legislatif terakhir sudah baik bagi dirinya sendiri dan negara, atau justru sebaliknya. Jika pemilih memberi penilaian positif terhadap pemerintahan terakhir, mereka akan memilihnya kembali. Sebaliknya, apabila masyarakat menilai negatif, pemilih tidak akan memilih lagi partai (elite yang mewakili partai) yang memimpin pemerintahan.

Gambaran perilaku pemilih yang cenderung evaluatif dalam memilih partai politik juga tampak dari hasil survei nasional Kompas yang dilakukan menjelang Pemilu Legislatif 2009 terhadap 3.000 responden di 33 provinsi. Nilai-nilai evaluatif, di antaranya, adalah pandangan dan pengetahuan responden soal kinerja partai, citra partai yang bersih korupsi, pengenalan tokoh parpol, prestasi, serta perilaku pemimpin partai, menjadi faktor-faktor yang memengaruhi pilihan politik responden.

Memang tidak sepenuhnya preferensi terhadap faktor pengaruh ini secara langsung berimplikasi terhadap pilihan parpol. Bagaimanapun, aspek evaluatif ini mengandung bermacam penilaian lainnya, terutama dalam hal tokoh parpol. Hal ini terbukti dari faktor citra parpol bersih korupsi, misalnya, meski paling tinggi memengaruhi pilihan politik, tidak secara langsung mendongkrak proporsi Partai Keadilan Sejahtera yang banyak direferensi sebagai ”partai bersih”. Sebaliknya, kecenderungan apriori terhadap unsur militer dalam tubuh parpol nyatanya tidak berlaku bagi Partai Gerindra, yang justru mencuat sebagai salah satu rising star pemilu ini.

Penilaian obyektif

Arus informasi yang semakin terbuka memungkinkan pemilih saat ini jadi semakin terbuka untuk menentukan arah pilihan politik mereka. Keterbukaan informasi ini yang memperlebar pintu kesempatan bagi masyarakat untuk melakukan evaluasi terhadap lembaga-lembaga politik yang ada. Ambil contoh pengenalan dan pemahaman partai. Beragam berita terkait kasus korupsi hingga skandal moral anggota DPR dari parpol tertentu memapar masyarakat lewat media cetak atau elektronik. Arus informasi semacam ini menjadi bahan evaluasi pemilih menentukan pilihan mereka.

Sangat mungkin, kencangnya proses liberalisasi politik di Indonesia pascareformasi turut mendorong transisi pilihan politik di negeri ini. Pilihan-pilihan politik didasarkan pada aspek rasional yang bersifat evaluatif. Meski demikian, kondisi tersebut tidaklah berjalan di ruang hampa. Apalagi, menurut Anthony Downs, pada dasarnya manusia adalah juga homo economicus alias makhluk ekonomi (Dieter Roth, Studi Pemilu Empiris: 2008).

Dalam konteks berpolitik, menurut Downs, pemilih rasional hanya ”menuruti” kepentingannya sendiri, dan kalaupun tidak, akan mendahulukan kepentingannya sendiri di atas kepentingan orang lain (egois) karena mereka ingin mengoptimalkan kesejahteraan mereka. Momentum pemilu akan mendorong pemilih memilih partai yang paling menjanjikan keuntungan. Pemilih pada umumnya tidak terlalu tertarik pada konsep politis sebuah partai, melainkan pada keuntungan lebih besar yang dapat ia peroleh jika partai yang dipilihnya itu menduduki kursi pemerintahan dibandingkan jika partai lain yang menguasai pemerintahan.

Dalam koridor pandang demikian, kebijakan pragmatis seperti pembagian bantuan langsung tunai (BLT), yang dikritik sementara pihak sebagai ”tidak mendidik”, menjadi terlegitimasi, bahkan menjadi pemikat yang efektif. Demikian juga penurunan harga BBM hingga tiga kali menjelang 2009, menjangkau efektif hingga jauh ke dalam relung-relung basis massa konstituen parpol.

Pada akhir kontestasi memang tidak terlalu penting lagi memperdebatkan argumentasi mana yang paling benar dalam konteks kebijakan pemerintah dan pendidikan politik warga negara. Dalam kondisi tekanan ekonomi, isu kebijakan yang mampu memberi ”angin segar” secara frontal kepada publik bakal lebih diingat pemilih, apalagi dilakukan menjelang pemilu. Bandingkan dengan memori kolektif publik terhadap kenaikan harga BBM, atau konversi minyak tanah, yang dilakukan jauh hari sebelum pemilu, cenderung ”diabaikan”.

Realitas di lapangan menunjukkan, masyarakat biasa pada umumnya tidak memiliki informasi yang cukup lengkap untuk memberi penilaian obyektif di bidang politik. Lebih jauh lagi, masyarakat kebanyakan tidak berusaha untuk mengenali pandangan politik mereka yang sesungguhnya dan melakukan evaluasi lebih jauh dan menentukan keputusan yang sesuai dengan kepentingan mereka. Oleh karena itu, fakta kemenangan Partai Demokrat dalam pemilu kali ini mengisyaratkan hal yang paling dikedepankan dalam pertimbangan ekonomis pemilih saat ini.

Keberadaan tokoh

Selain aspek evaluatif pragmatis-ekonomis, sulit dimungkiri faktor evaluatif-subyektif turut berperan besar dalam menentukan pilihan politik. Kekuatan Partai Demokrat yang merangsek pemilih di seluruh basis-basis pemilih nasionalis ataupun Islam masih ”tertahan” oleh loyalitas dan fanatisme pemilih, seperti PDI-P di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah atau Golkar di Sulawesi Selatan. Basis loyal ini mungkin akan lebih ”lembam” dalam beralih kepada pilihan parpol lain.

Dalam konteks ini, dasar loyalitas yang tak bersifat patron justru ditunjukkan Golkar yang memilih parpol berdasarkan sosok partai. Adapun pemilih Demokrat umumya menjadikan afiliasi kepada sosok Susilo Bambang Yudhoyono sebagai ”legitimasi” pilihannya kepada Partai Demokrat, sebagaimana juga para simpatisan Megawati kepada pilihan PDI-P. Citra tokoh tampak betul menjadi faktor yang masih kuat memengaruhi pemilih Indonesia, bahkan terhadap pemilih parpol pemenang yang diasumsikan ”rasional”.

Jika merunut popularitas Yudhoyono sejak 2004, tampak kecenderungan popularitasnya lebih dulu naik daripada Partai Demokrat. Cerminan jajak pendapat triwulanan juga menunjukkan popularitas SBY yang konsisten dan cenderung membaik menjelang Pemilu 2009, sebuah kondisi yang berbeda dengan dua presiden sebelumnya. Hasilnya terbukti dalam pemilu kali ini, yang dilihat dalam konteks persaingan politik partai papan atas, terasa mengejutkan.

Namun, masa kejayaan politik parpol tetap memiliki ”siklus hidup” yang terbatas. Apalagi jika pemilu ini menjadi kesempatan terakhir tampil di ajang pemilu. Apa jadinya Partai Demokrat tanpa SBY sebagai capres atau PDI-P tanpa capres Megawati? Masihkah peta dominasi politik Partai Demokrat atau kekokohan PDI-P mampu dipertahankan? Ukuran paling dekat adalah koalisi parpol dan komposisi capres mendatang, rasionalitas seperti apa lagi yang ditawarkan kekuatan politik dan dipilih sebagai prioritas utama pemilih. (Suwardiman & Toto Suryaningtyas/Litbang Kompas)


Sumber: Kompas

Berita terkait:



0 komentar:

Blogger template 'Purple Mania' by Ourblogtemplates.com 2008

Jump to TOP