Kami Mengucapkan Terimakasih kepada Semua Pihak yang telah membantu Menyukseskan Perhelatan Akbar
Olimpiade Sains Nasional (OSN) 2009

di Jakarta 3 s.d. 9 Agustus 2009

Sampai Ketemu di OSN Tahun 2010 di Medan, Sumatera Utara

Headline News

NATIONAL NEWS

Translate Here

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic

Nilai Tukar Rupiah Hari Ini

Selasa, Juni 02, 2009

Peningkatan Mutu Sebatas Keinginan

Senin, 12 Desember 2005

Oleh Sulistiyo

MENGAKHIRI tahun 2005 dunia pendidikan kita belum banyak mencatat kemajuan berarti. Beberapa peristiwa penting yang patut dicatat sepanjang tahun 2005 paling tidak mengindikasikan masa depan pendidikan masih suram, memprihatinkan, dan belum sesuai harapan.

Pendidikan merupakan sistem yang tidak dapat berdiri sendiri. Maju mundurnya pendidikan dipengaruhi oleh berbagai variabel lain baik yang langsung maupun tidak langsung.

Krisis ekonomi yang belum menunjukkan tanda kepulihan, bencana alam di berbagai daerah, ditambah dengan terus melonjaknya harga minyak dunia, merupakan variabel eksternal yang turut menentukan kualitas penyelenggaraan pendidikan. Kemampuan pendanaan pemerintah menjadi sangat terbatas sementara permasalahan pendidikan sangat kompleks.

Kebijakan desentralisasi pendidikan yang diharapkan dapat memperpendek jalur birokrasi dan mendekatkan layanan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat, disebut-disebut sebagai biang kerok merosotnya mutu pendidikan di berbagai daerah.

Kesewenang-wenangan dan arogansi birokrasi sangat terasa di beberapa daerah. Sementara partisipasi masyarakat juga masih belum menggembirakan.

Kondisi Objektif

Sebagai gambaran riil, hingga kini Indonesia belum mampu menyelesaikan program wajib belajar sembilan tahun. Padahal ketuntasan wajar sangat penting dan bermakna strategis sebagai basis pengembangan sumber daya ma-nusia berkualitas di masa depan.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, terutama sejak krisis ekonomi pada tahun 1998 semakin banyak anak yang mengalami putus sekolah, tinggal kelas, maupun tidak melanjutkan studi pada tingkat yang lebih tinggi.

Tahun 2004 Angka Partisipasi Kasar (APK) SMP Jawa Tengah 86.94 %, sedikit lebih tinggi dari APK rata-rata Indonesia 81.65 % (Kompas, 29 Nov 2005). Artinya, masih terdapat 13.04 % siswa usia 13 -15 tahun yang tidak bersekolah atau putus sekolah. Data ini bila ditelusuri lebih jauh secara empirik angkanya mungkin lebih mencengangkan.

Krisis juga menghantam anak-anak usia sekolah dasar hingga mereka tidak dapat melanjutkan ke SMP bahkan di antaranya tidak sedikit yang putus sekolah. Secara nasional, angka putus sekolah SD/MI mencapai 650.000 siswa dan angka tidak melanjutkan studi 500.000 siswa.

Hasil penelusuran Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas 2003) yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik disebutkan, 67 % siswa putus sekolah atau tidak bersekolah disebabkan oleh faktor biaya. Bahkan, menurut Hamid Muhammad, Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Pertama, 76 % anak putus sekolah atau tidak melanjutkan karena faktor biaya, sisanya karena faktor lain seperti ketidakmampuan mengikuti pelajaran, larangan orang tua, harus bekerja, dan faktor geografis.

Secara nasional sejak tahun 2000 kita terikat pada kesepakatan Dakkar, yaitu menyelenggarakan pendidikan untuk semua (education for all) dengan konsekuensi anak usia sekolah (7-15 tahun) wajib memperoleh pendidikan formal.

Apabila ditelusuri dan ternyata faktor utama yang menghambat anak bersekolah adalah biaya, mengapa pemerintah yang memiliki tanggung jawab etis untuk mewujudkan wajib belajar 9 tahun tidak mengambil langkah-angkah strategis. Katakanlah dengan mengambil alih seluruh pembiayaan sekolah sehingga anak-anak usia sekolah dasar dapat menikmati sekolah gratis?. Tetapi justru anggaran pendidikannya dalam APBN sangat kecil. Untuk tahun 2005 9,3 %. Jawa Tengah baru mencapai 12, 58 %. Itu bertentangan dengan UUD 1945 maupun UU Sisdiknas No 20 tahun 2003.

Persoalan sekolah gratis disederhanakan dalam paket Bantuan Operasional Sekolah (BOS) un-tuk tiap siswa SD 19.000 dan SMP/MTs 27.500. Dalam praktiknya, dana BOS seringkali melenceng dari sasaran utama untuk membiayai kebutuhan utama siswa di sekolah.

Ada sekolah yang bekerja sama dengan Komite Sekolah, di-indikasikan memanfaatkan dana BOS untuk keperluan lain, seperti membuat pagar sekolah, pengadaan komputer, dan lainnya. BOS yang digulirkan sebagai kompensasi atas kenaikan harga BBM yang melonjak jauh melampaui kekuatan riil ekonomi masyarakat masih belum dapat menjawab persoalan sekolah gratis yang dirindukan sebagian besar masyarakat Indonesia.

Proses Pembelajaran

Mutu pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kualitas proses pembelajaran. Secara kuantitatif, mutu pembelajaran dapat dijelaskan dalam indikator angka kelulusan. Pada Ujian Nasional tahun 2004/2005 lalu, untuk SMP/Mts masih 18 provinsi yang persentase ketidaklulusannya di atas 15 %, untuk SMA/MA masih 20 provinsi yang ketidaklulusannya di atas 20 %, sedangkan untuk SMK paling jelek, yaitu masih 21 provinsi yang ketidaklulusannya di atas 20 %. Sekolah di Jawa Tengah pada tahun ini SMP/MTs ketidaklulusannya 15,89, SMA/ MA 14,76 %, dan SMK 28,54 %..

Kondisi Pembelajaran

Secara kualitatif, kualitas pembelajaran dapat diamati dari proses pembelajaran yang demokratis, dialogis, menyenangkan, mendorong siswa untuk meningkatkan minat belajarnya dan secara outcome banyak siswa yang terserap pada sekolah-sekolah lanjutan yang kualitasnya tinggi.

Kondisi pembelajaran di sekolah saat ini, sangat variatif. Harus diakui, masih banyak yang sangat memprihatinkan.

Marilah kita tengok ke sekolah-sekolah, terutama yang berada jauh dari kota. Berbagai keluhan muncul. Mulai keadaan ruang kelas dan gedung sekolah yang rusak parah, buku-buku pegangan guru dan siswa tidak tersedia, alat peraga sangat minim, perpustakaan sekolah yang hanya berisi lemari tua dan buku-buku yang amat terbatas.

Masih terdengar pula gaji yang dipotong, manajemen sekolah yang amburadul, guru yang tersedia tidak sesuai dengan bidang yang diajarkan, dan berbagai persoalan lain. Kondisi itu, adalah cermin bagaimana proses pembelajaran mengalami reduksi yang tajam pada kualitas seadanya, benar-benar seadanya.

Kurikulum berbasis kompetensi yang mulai berlaku pada tahun 2004 yang diharapkan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran, nasibnya sama dengan kurikulum sebelumnya.

Kurikulum itu belum dipahami oleh para guru, buku pedomannya tidak tersedia, sosialisasi tidak sistematis. Hampir dipastikan, kutikulum itu tidak dapat dilaksanakan dengan sepenuhnya, karena kemampuan guru beserta sarananya sangat tidak memadai. Padahal, perubahan kurikulum yang sesungguhnya adalah dui dalam proses pembelajaran yang dikelola oleh guru.

Data ketidaklulusan dan putus sekolah siswa itu, ternyata jika dirunut secara cermat, banyak dialami oleh siswa yang bersekolah di pinggiran kota. Mareka yang bersekolah di tempat itu, ternyata sebagian besar berasal dari masyarakat miskin. Jadi, Ujian Nasional (UN) yang selama ini berlangsung, menimbulkan penderitaan khusus bagi masyarakat miskin yang hanya bisa bersekolah di sekolah miskin dan pingiran. Terselenggaranya UN berdampak dalam proses pembelajaran, antara lain mata pelajaran bukan UN akan mendapat perlakuan kelas dua. Orientasi pembelajaran banyak pada UN bukan pada kompetensi siswa.

Di samping itu, tidak ditemukannya langkah nyata sebagai tindak lanjut kegiatan UN. Sekolah yang tingkat kelulusannya sangat rendahj, bahkan ada yang mencapai 100 %, belum ada tindak lanjut yang dapat memperbaiki mutu pendidikian, minimal di sekolah itu.

Kondisi Guru

Secara agregat guru yang memiliki kualifikasi akademik yang layak mengajar di berbagai jenjang dan satuan pendidikan masih jauh dari standar yang dipersyaratkan. Pada tataran nasional guru SD yang tamatan D2 hanya 44 %, 41 % tamatan SPG, dan hanya 9 % yang bergelar sarjana. Untuk SMP, 50 persen guru bergelar sarjana, sementara untuk tingkat SMA/SMK hanya 56 % yang layak mengajar (Balitbang Depdiknas, 2005 dan Kompas, 2005).

Untuk Jateng guru SD yang lulusan SLTA masih 57.216 dari 193.537 (29,6%), guru SLTP/MTs yang belum sarjana sebesar 38.599 dari 92.226 (41,8%), dan guru. SMA, MA, dan SMK yang belum S1 18.802 dari 63.429 (29.64%).

Yang lebih menyedihkan kompetensi guru masih jauh dari harapan. Sebagai contoh, hasil uji kompetensi guru SMP/MTS Jawa Tengah tahun 2003/2004 sebagaimana dikeluarkan oleh Dinas P dan K Provinsi Jawa Tengah rata-rata nilai uji kompetensi sembilan mata pelajaran yang diajarkan, kecuali pelajaran agama, tidak ada yang mencapai di atas 50.

Kesejahteraan guru yang sangat rendah seringkali menyebabkan guru kesulitan untuk melakukan peningkatan kualitas profesinya. Fakta ini teramat menyedihkan apalagi keinginan para guru mewujudkan guru sebagai profesi dalam UU Guru hingga kini belum menjadi relitas.

UU Guru sebagai produk hukum yang melindungi profesi guru, menjamin jenjang karir dan kesejahteraan guru, rupanya masih terganjal pada berbagai kepentingan yang dalam tataran para guru sangat sulit dimengerti. Pemerintah dianggap tidak serius membenahi permasalahan pendidikan yang simpul utamanya terletak pada kualitas guru.

Sebenarnyalah bahwa guru merupakan aktor kunci dalam mencapai pendidikan yang berkualitas. Secara konseptual maupun empirik dapat dibuktikan, hanya gurulah yang dapat menggerakkan berbagai komponen pendidikan secara optimal sehingga tercipta proses pembelajaran secara interaktif, dinamis, dialogis, dan menyenangkan kendati dengan segala keterbatasan fasilitas.

Arogansi Kekuasaan

Desentralisasi pendidikan yang mewajibkan pemerintah daerah menangani semua urusan pendidikan dasar dan menengah memperkokoh stigma arogansi kekuasaan yang hanya mau bertindak sesuai dengan kepentingannya. Guru diperlakukan sebagai pegawai birokrasi daerah, bahkan terkadang sering menyedihkan.

Di Jawa Tengah, misalnya,terdapat satu kabupaten, dan itu merupakan satu-satunya kabupaten/kota di Indonesia, yang memensiun guru dini, 56 tahun. Efek reformasi yang kebablasan, peraturan daerah mengalahkan peraturan nasional yang seharusnya dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan.

Masih dalam tragedi desentralisasi yang dimaknai amat dangkal oleh birokrat daerah. Pengembangan profesi guru terkesan mandek, hampir-hampir tidak ada pembinaan profesi melalui berbagai pelatihan yang amat dibutuhkan guru.

Program dan anggaran peningkatan kualitas guru di dinas pendidikan sering sekali sangat memprihatinkan. Jumlah guru satu kabupaten kota yang lebih 10.000 yang diprogramkan untuk mengikuti kegiatan peningkatan profesi sering tidak mencapai 10.000 orang.

Realitas lain dalam wajah desentralisasi pendidikan adalah: satu, ketiadaan perencanaan pendidikan yang integratif, sistematis, dan berpihak kepada kepentingan rakyat,

Dua, Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang sering nampak gagap sehingga lebih terkesan menjadi stempel pemerintah dan sekolah. Tiga, pengangkatan pejabat di lingkungan pendidikan yang tidak memperhatikan latar belakang pendidikan. Empat, dana pembangunan yang dikutip sekolah kurang memperhatikan kemampuan masyarakat,

Lima, anggaran pendidikan yang meskipun terus meningkat dari tahun ke tahun masih jauh dari memenuhi kebutuhan terutama kebutuhan peningkatan kualitas guru, dan Enam, transparansi serta akuntabilitas sekolah belum berjalan optimal. Tujuh, supervisi sekolah yang belum efektif.

Jika tidak ditangani secara sistematis, keinginan meningkatkan mutu pendidikan, ya sebatas keinginan itu sendiri. Jelas, jika mutu pendidikan tidak meningkat, kualitas sumber daya manusia juga rendah. Kualitas sistem pendidikan dikaitkan dengan daya saing tenaga kerja, Indonesia menduduki peringkat ke-12 dari 12 negara di Asia yang diteliti.

Jangan terheran-heran, dan bertanya-tanya mengapa dan mulai kapan, jika pada saatnya Indonesia, sungguh-sungguh yang paling rendah dibandingkan dengan negara mana pun.(11)

Drs Sulistiyo, M.Pd, Rektor IKIP PGRI Semarang,
Sekretaris Umum Pengurus PGRI Jawa Tengah



Sumber: Suara Merdeka




Bookmark and Share


Berita terkait:



0 komentar:

Blogger template 'Purple Mania' by Ourblogtemplates.com 2008

Jump to TOP