Menyapa Bocah-Bocah Papa
Sabtu, 30 Mei 2009 | 23:04 WIB
Hari ini, 31 Mei 2009, Surabaya berusia 716 tahun. Pembangunan yang terus dilakukan menyajikan wajah ganda Kota Pahlawan. Ingin menyajikan kenyamanan, namun juga berakibat nestapa bagi sebagian rakyat. Mengimbangi wajah garangnya, Pemkot Surabaya pun coba tersenyum manis lewat kebijakan-kebijakan populis.
Oleh: Achmad Supardi – Purnomo Siswanto
Perempuan itu segera bergegas ke sekolah yang alamatnya baru ia ketahui beberapa hari sebelumnya. Anak itu harus diselamatkan, demikian tekad dalam benaknya. Jangan sampai tak bisa ikut ujian akhir hanya karena tidak bisa melunasi tunggakan SPP-nya.
Di hadapan dua guru, perempuan itu pun menyatakan maksud kedatangannya. “Saya ingin membantu membayar SPP anak ini,” katanya sembari menyebut sebuah nama.
Dua guru di depannya sedikit tercengang. Heran. “Anda siapa ?“ tanya mereka.
Perempuan itu menjawab, dia salah satu orangtua siswa yang kebetulan tahu nasib si bocah dan tergerak membantu. Mendengar hal itu, salah satu guru buka kartu. “Yang bernasib seperti itu bukan hanya satu, ada lima siswa lainnya yang bernasib sama,“ kata dia.
Tanpa berpikir panjang, perempuan itu mengiyakan. Di akan bayar pula tunggakan SPP kelima bocah yang masing-masing sekitar Rp 500 itu agar mereka bisa bersekolah lagi dan mengikuti ujian akhir. “Tapi, saya hanya bisa membantu membayar SPP mereka saja. Biarlah mereka tidak usah ikut tur perpisahan,“ kata perempuan itu.
Tanpa diduga, salah satu guru mencibir. “Bisa bayar SPP segitu, masak bayar uang tur saja tidak bisa?“ celanya.
Mendapat celaan demikian, si perempuan menggebrak meja dan langsung berdiri. Tangan kanannya menuding, persis di muka sang guru. “Apa pentingnya tur? Apa manfaat tur bagi masa depan mereka? Mengapa Anda begitu memaksa? Yang penting siswa-siswa ini bisa ikut ujian, dan karena itulah saya kemari!“ seru wanita itu, marah luar biasa. “Mulut Anda, yang sering mengeluarkan kalimat-kalimat celaan itulah yang membuat siswa ketakutan. Kalimat seperti itu yang menutup kesempatan warga untuk bersekolah!“ lanjutnya.
Tak lagi kuat menahan emosi, wanita itu pun akhirnya mengaku. “Saya ini Kepala Bappeko Surabaya! Kalau Anda tidak mengubah sikap Anda itu, saya sumpah, Anda atau saya yang harus pindah!“ seru Ir Tri Rismaharini, si wanita tokoh kita kali ini.
Ya, dialah Tri Rismaharini, wanita yang lebih sering dipanggil Bu Risma.
Belakangan ia kerap turun ke bawah, berkunjung dari sekolah satu ke sekolah lain. Bukan sekadar silaturahim, namun mencoba membantu permasalahan yang dihadapi para siswa.
“Jenis persoalannya beragam. Ada yang terpaksa putus sekolah karena tak bisa membayar SPP hingga beberapa bulan, ada pula yang ijazahnya ditahan oleh sekolah karena SPP-nya belum lunas. Lha kalau ijazahnya ditahan, mereka cari kerja pakai apa?” tanya Risma.
Tim Penelusur
Menurut wanita kelahiran Kediri, 20 November 1961 ini, pemkot harus ikut mengupayakan agar nasib-nasib tragis seperti itu tidak terjadi.
Ini bagian dari tekad Pemkot Surabaya mewujudkan kota pahlawan tanpa anak putus sekolah. Tidak banyak gembar gembor, pemkot terus menelusuri jejak-jejak anak putus sekolah. Sementara ini sudah terjaring 905 anak putus sekolah.
“Kami mulai menelusuri anak-anak bernasib malang itu. Sejauh data kami, ada 905 anak tidak sekolah dengan penyebab beragam. Ada yang bermasalah dengan ijazah SMP-nya belum tertebus, ada yang terkendala SPP, ada pula yang benar-benara sengaja tidak mau sekolah,” kata Risma.
Mantan Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan ini yakin angka 905 ini belum final. Masih banyak anak putus sekolah yang belum terdeteksi dan jumlah itu masih akan bertambah.
“Pertambahannya bisa dua kali lipat. Pasalnya, angka itu saya dapat dari 87 kelurahan, sementara jumlah kelurahan di Surabaya ada 163,” katanya.
Penelusuran dilakukan melalui kelurahan dilanjutkan ke RT dan RW. Para Ketua RT dan RW memberikan data awal ke Tim Penelusuran Anak Putus Sekolah dilengkapi daftar riwayat hidup si anak, misalnya kondisi keluarga yang bersangkutan, pekerjaan orangtua, dan alasan putus sekolah.
Dari penelusuran tim terlihat cukup banyak anak yang putus sekolah karena jarak sekolah dan rumahnya cukup jauh. Dia terpaksa harus naik angkot, bahkan hingga oper 2 kali, untuk sampai di sekolah. Orangtua tidak bisa memenuhi kbutuhan ongkos transportasi ini. Ini memang bukan perkara sederhana. Dua kali naik angkot, berarti 4 kali PP. Bila sekali jalan butuh Rp 2.500, maka dalam sehari si anak butuh Rp 10 ribu hanya untuk ongkos angkot saja. Jelas ini bukan komponen pengeluaran yang sedikikt bagi keluarga si anak.
“Banyak yang kemudian memilih putus sekolah. Sebagian anak memilih keluyuran dan mencari pekerjaan seadanya. Ada yang jadi juru parkir, kuli bangunan, ada pula yang mengamen dan jadi pengemis,“ kata Risma, prihatin.
Tujuan pemkot hanya satu: si anak kembali bersekolah. Mereka yang tak bisa langsung kembali ke sekolahnya tahun ini, paling tidak bisa melanjutkan sekolahnya di tahun ajaran mendatang.
“Kami harap di akhir tahun ajaran 2009 ini tak ada lagi anak putus sekolah dan keleleran,“ harapnya.
Salah satu alternatifnya, lulusan SMP yang tidak bisa melanjutkan ke SLTA umum akan dimasukkan ke sekolah menengah kejuruan (SMK). Selama mengikuti pendidikan di SMK mereka tidak dipungut biaya sama sekali. Bahkan, guna menampung anak putus sekolah dari keluarga tidak mampu itu pemkot akan menambah jumlah SMK, sebagian dibangun di kawasan Surabaya Barat. “Penambahan SMK itu diharapkan bisa terus menambah lulusan siap kerja. Dengan demikian, dapat menekan angka pengangguran,” harapnya.
Kikis Pengangguran
Keinginan pemkot itu selaras dengan niat pemerintah pusat untuk menambah SMK di seluruh Nusantara secara merata. Dengan target membalik rasio SMA:SMK dari 60:40 menjadi 30:70. Maksudnya, jika selama ini masih didominasi SMA, mendatang bakal di balik.
Menurutnya, ada dua kawasan yang menjadi usulan untuk program penambahan SMK itu. Yakni, kawasan Surabaya Barat dan Utara. Kedua wilayah ini memiliki angka siswa melanjutkan ke jenjang kuliah sangat rendah. Di Surabaya Barat hanya 14-16 persen, sementara di Surabaya Utara hanya 4 persen.
“Untuk Surabaya Utara lahannya sangat sulit. Tidak ada tanah kosong lagi di sana. Jadi, sementara ini kami prioritaskan untuk membangunan SMK di kawasan Surabaya Barat dulu,” kata Risma.
Lokasi pendirian SMK baru itu berada di Kecamatan Lakarsantri. “Yang pasti sekolah itu bakal didirikan di primary area atau wilayah utama kelas A di Surabaya Barat,” lanjut mantan kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan itu.
SMK dipilih dengan pemikiran sekolah ini “lebih dekat“ pada dunia kerja. Pilihan ini dianggap paling masuk akal melihat tingginya angka pengangguran di Surabaya. Data terbaru yang dirilis Bappeko menyebutkan ada 92.367 pengangguran
di Surabaya dengan rinciannya 12.126 orang di Surabaya Barat, 18.427 orang di Surabaya Utara, 13.139 orang di Surabaya Pusat, 24.726 orang di Surabaya Selatan, dan 23.131 orang di Surabaya Timur.
“Dengan melanjutkan ke SMK, mereka bisa langsung bekerja kalau memang memutuskan untuk tidak kuliah,” kata Risma. “Dengan begitu, angka pengangguran diharapkan tidak bertambah lagi,” harapnya.
Memenuhi harapan ini jelas tidak mudah. Salah satu langkah yang akan ditemput pemkot adalah dengan memastikan bahwa SMK menjadi “supermarket” bagi beragam keahlian. Mau cari keahlian apa pun, ada. “Jadi, nantinya lulusan bisa langsung siap kerja, termasuk ke perusahaan asing,” harapnya. “Soal dana, kami yakin perusahaan-perusahaan bisa digandeng. Mereka takkan keberatan mengalokasikan dana corporate social responsibility-nya untuk membangun SMK yang nanti berguna pula bagi mereka,” lanjutnya, yakin. (*)
Curiculum Vitae
===========
Nama: Tri Rismaharini
Tempat/Tanggal Lahir: Kediri, 20 November 1961
Suami: Djoko Saptoadji (45)
Anak: - Fuad Nenardi (17), dan Tantri Gunarni (12)
Pendidikan:
- SD Negeri di Kediri, 1973
- SMPN X Surabaya, 1976
- SMAN V Surabaya, 1980
- S-1 Arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS), 1987
- S-2 Manajemen Pembangunan Kota ITS, 2002
Penghargaan:
- Pelajar Teladan SD
- S2 Cum Laude Manajemen Pembangunan Kota
- Satya Lencana Karya Satya 2005
Karya: E-Procurement Kota Surabaya
Riwayat Jabatan:
- Kepala Seksi Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Bappeko Surabaya, 1997-2000
- Kepala Seksi Pendataan dan Penyuluhan Disbang, 2001
- Kepala Cabang Dinas Pertamanan, 2001
- Kepala Bagian Bina Bangunan, 2002
- Kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan, 2005
- Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan, 2005-sekarang
0 komentar:
Posting Komentar