Memelihara DPT Fiktif
EDITORIAL - Media Indonesia
04 Juli 2009 00:00 WIB
Di mana-mana pemilihan umum memerlukan partisipasi pemilih sebanyak-banyaknya. Karena yang paling mendasar dari sebuah pemilu adalah suara (votes) dan pemilih (voters).
Tetapi di Indonesia pemilu mengabaikan pemilih. Tidak cuma mencolok pada waktu pemilu legislatif, tetapi juga berlanjut pada pemilu presiden yang tinggal beberapa hari lagi.
Pengabaian, beberapa kalangan menyebut pengkhianatan, pemilu terhadap pemilih terbukti pada pemilih fiktif yang masih saja dipertahankan dalam daftar pemilih tetap oleh Komisi Pemilihan Umum.
Eva Sundari, anggota DPR dari PDIP, mengungkapkan tidak kurang dari 47 juta pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT. KPU naik pitam dan mengancam akan memolisikan Eva bila tidak mampu membuktikan angka tersebut.
Belum rampung perseteruan dengan Eva, KPU disodorkan lagi sebuah angka yang mencengangkan. Menurut penelusuran tim sukses calon presiden Jusuf Kalla, terdapat tidak kurang dari tujuh juta pemilih fiktif yang mereka temukan di 50% kabupaten di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Kita menunggu apakah KPU akan memolisikan juga tim sukses JK-Win soal angka pemilih fiktif ini.
Dalam soal kericuhan DPT KPU cenderung defensif. Angka Eva Sundari dan angka tim sukses Jusuf Kalla bisa saja dilebih-lebihkan, tetapi juga bisa terlalu kurang. Karena DPT fiktif itu bukan hisapan jempol belaka, tetapi ada.
KPU semestinya tidaklah defensif berlebihan. Perbaikilah DPT dengan usaha sungguh-sungguh dan terbuka sehingga pemilih terjaring untuk menggunakan hak pilihnya. DPT haruslah dibuka untuk umum dengan sosialisasi yang luas dan konsisten. DPT bukanlah dokumen suci yang haram untuk diketahui publik.
Bila KPU tetap mempertahankan DPT yang jelas-jelas bermasalah seperti pemilih ganda, orang mati yang masih tercantum, berarti KPU melakukan pemalsuan dokumen.
Sikap KPU yang mempertahankan DPT yang banyak diisi pemilih fiktif menimbulkan kecurigaan tentang independensi dan akuntabilitas KPU sendiri. Pemilu yang sarat dengan manipulasi kehilangan legitimasi. Ini berbahaya.
KPU tidak bisa meremehkan DPT karena dikaitkan dengan golongan putih. DPT fiktif dan golput adalah dua perkara yang berbeda. DPT fiktif mengkhianati pemilih yang berhak dan mau memilih, sedangkan golput adalah mereka yang dengan sengaja tidak menggunakan hak pilihnya.
Pemerintah, politisi, dan semua yang mengaku peduli pada demokrasi, anehnya, tidak menaruh perhatian serius pada DPT fiktif ini. Malah mereka sibuk membiayai iklan dan sosialisasi pemilihan presiden satu putaran saja karena alasan penghematan anggaran.
DPT adalah nyawa pemilu. DPT yang penuh dengan nama-nama fiktif menyebabkan pemilu cacat legitimasi. Sayang, masalah yang memalukan ini justru muncul pada saat kita semua mengaku reformis dan demokratis.
Solusinya sesungguhnya gampang. Biarkan mereka yang tidak tercantum dalam DPT menggunakan kartu tanda penduduk untuk memilih. Tetapi pemerintah tidak mau menggunakan opsi ini. Pemerintah lebih suka memelihara DPT fiktif.
0 komentar:
Posting Komentar