Kami Mengucapkan Terimakasih kepada Semua Pihak yang telah membantu Menyukseskan Perhelatan Akbar
Olimpiade Sains Nasional (OSN) 2009

di Jakarta 3 s.d. 9 Agustus 2009

Sampai Ketemu di OSN Tahun 2010 di Medan, Sumatera Utara

Headline News

NATIONAL NEWS

Translate Here

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic

Nilai Tukar Rupiah Hari Ini

Jumat, Juni 26, 2009

Pemimpin Pembawa Bencana



Pemimpin adalah pembela akidah Islam, hakim yang adil bagi rakyat, dan benci para penjilat. Bukan pengkhianat pembawa nista dan nestapa.

Oleh: Erdy Nasrul

DIA ANTARA tahun 1105 dan 1118 masehi, hujjatul Islam, imam al-Ghazali berdebat dengan para ulama bermazhab Hambali di hadapan Sultan Bani Saljuk, Muhammad bin Maliksah. Mendengar betapa kuatnya argumentasi al-Ghazali, sultan meminta sang imam untuk menuliskan argumentasi tersebut. Selesai memenuhi permintaan sultan, al-Ghazali mendapat hadiah, sebuah rusa hasil buruan tangan sultan sendiri. Kemudian al-Ghazali membalas pemberian itu, dengan sebuah buku bertajuk at-Tibrul masbuk fi nasihatil muluk. Melalui buku itu al-Ghazali memberikan nasihat; Seorang pemimpin haruslah berrmoral tinggi, atau sederhananya beradab.

Seorang sarjana Malaysia mengupas habis gagasan al-Ghazali tersebut, Nik Roskiman Abdul Samad. Ketika kuliah di International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) Malaysia, dia melihat adab seorang pemimpin nyaris mendekati adab rasulullah SAW.

Pemimpin bisa menjadi beradab karena ilmu, semakin tinggi ilmu pemimpin maka semakin beradablah. Ketika meneliti, Nik Roskiman menemukan nasihat pertama al-Ghazali, untuk selalu berpedoman kepada Allah, baru setelah itu, bermuamalah kepada manusia. Terkait dengan yang pertama, al-Ghazali berpendapat, pemimpin harus melindungi agama dari bid’ah, dan aliran sesat.

Ketika bermuamalah dengan rakyatnya, al-Ghazali menasihati pemimpin untuk berbuat adil. Adil bukan sekedar taat hukum. Jauh lebih mendasar, adil adalah moralitas masyarakatnya, yang dicapai dengan kesempurnaan akal, dan jauh dari nafsu angkara murka dan tirani.

Al-Ghazali menekankan, pemimpin haruslah berpedoman kepada al-Qur’an, petunjuk hidup seluruh umat Islam. Dia menekankan, sudah seharusnya pemimpin itu melahirkan kebijakan dan berperangai sesuai al-Qur’an.

Dalam nasihatul muluk itu, al-Ghazali membuat gambaran, jika pemimpin baik kepada Allah niscaya akan baik pula kepada rakyatnya. Al-Ghazali mendefinisikan, pemimpin adalah seseorang yang menegakkan keadilan dan memusnahkan kezaliman di antara umat manusia.

Sungguh betapa pentingnya keadilan. Al-Ghazali menilai agama menjadi kuat karena pemimpin, pemimpin menjadi kuat karena tentara, tentara menjadi kuat karena harta, harta menjadi berguna karena keramaian dan kesejahteraan penduduk. “Itu semua hanya terwujud dengan keadilan,” simpul al-Ghazali.

Untuk mewujudkan keadilan, Ibnu Taimiyah, seorang ulama salaf, menilai pemimpin harus terlebih dahulu berbuat adil. Orang-orang di sekitar pemimpin haruslah sesuai dengan keahliannya. “Apabila memilih hanya karena kerabat, terlebih karena suap, maka sungguh seorang pemimpin telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya,” tegas Ibnu Taimiyah dalam as-Siyasah as-Syar’iyyah.

Terkait dengan masalah harta, Ibnu Taimiyah berpesan, karena pengaruh orang-orang di sekelilingnya, pemimpin menyelewengkan penggunaan anggaran Negara. “Kadang menimbun harta, korup, memberikan harta Negara kepada penjilat,” jelas Ibnu Taimiyah. Dia melanjutkan, sungguh pemimpin yang seperti itu telah berkhianat.

Ibnu Qayyim al-Jauzi, murid Ibnu Taimiyah, memberi contoh pemimpin yang tidak berkhianat. Dalam sirah Umar bin Abdul Aziz, Ibnu Jauzi menulis, seorang asisten Umar berkata kepada khalifah yang sedang terbaring sakit, “Wahai khalifah apakah engkau menjauhkan anak-anakmu dari harta?”

Mendengar pertanyaan itu, Umar bin Abdul Aziz memanggil anak-anaknya. Ketika mereka datang, tetes air mata membasahi pipi Umar, tidak tahan lagi untuk menunjukkan betapa sayangnya kepada mereka yang belum satu pun beranjak dewasa. Di hadapan mereka, Umar berwasiat, “Bukanlah maksudku untuk tidak memberikan kalian harta. Kalian harus tahu, aku bukanlah penimbun harta yang nantinya aku bagikan kepada kalian semua.”

Setelah memberikan nasihat, Umar memberikan mereka seratus ekor kuda. Bukan untuk dijual atau dipelihara. Ibnu Jauzi menulis, kuda-kuda itu kemudian mereka berikan kepada orang-orang yang berjuang di jalan Allah.

Betapa bangganya Ibnu Jauzi terhadap Umar bin Abdul Aziz. “Dialah khalifah kaum Muslimin dari Turki hingga Andalusia.” Kemudian, Ibnu Jauzi menulis, sungguh sedikit sekali Umar meninggalkan harta untuk anak-anaknya, hanya dua puluh dirham saja.

Sejarah membuktikan sudah, Umar adalah sosok pemimpin pembela akidah Islam. Jika sekarang mata umat Islam menyorot para calon presiden dan wakil presidennya maka pasti akan bertanya, di antara Megawati-Prabowo, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, Jusuf Kalla-Wiranto, adakah diantara mereka yang melindungi akidah umat? Adakah diantara mereka yang paling sederhana sikapnya dalam hidup dan harta? Adakah yang paling tegas pada para penjilat?

Jika criteria di atas belum terpenuhi standar minimalnya, siapapun yang akan memimpin negeri dan bangsa ini, hanya akan membawa bencana pada rakyat dan negaranya.

(dikutip dari Majalah Islam SABILI, No. 24 Th. XVI, 18 Juni 2009/25 Jumadil Akhir 1430, hal 38-40, dalam rubrik TELAAH UTAMA).


Sumber: sabili.co.id



Bookmark and Share


Berita terkait:



0 komentar:

Blogger template 'Purple Mania' by Ourblogtemplates.com 2008

Jump to TOP