Debat Capres Judul tanpa Teks
Jumat, 26 Juni 2009 00:01 WIB
DEBAT kedua para calon presiden berlangsung di studio Metro TV tadi malam. Tidak banyak berubah dari debat pertama seminggu yang lalu terutama yang menyangkut substansi.
Bagi mereka yang menginginkan debat dengan perdebatan, memang, tidak tersaji dalam debat tadi malam. Yang ada, cuma sedikit kelakar yang kemudian bermuara pada kesepakatan 'me too'--saya juga begitu.
Tidak ada perbedaan tajam tentang arah dan substansi debat di antara ketiganya yang membuat pemilih tahu mengapa memilih Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, atau Jusuf Kalla. Agaknya dengan satu debat tersisa, keinginan untuk memperoleh debat bermutu sulit terpenuhi.
Memang harus diakui berdebat dengan waktu yang sangat terbatas tidaklah gampang. Tetapi untuk mereka yang memberanikan diri menjadi presiden dengan tim sukses yang besar dan banyak, tidak ada kata maaf untuk tidak bisa menghadirkan perdebatan bermutu.
Dua debat yang sudah berlangsung mengindikasikan dengan sangat jelas bahwa para kandidat tidak cukup siap dengan detail. Mereka hanya siap dengan pikiran-pikiran besar dan normatif. Seperti tingkatkan pertumbuhan, tekan pertambahan penduduk, menyejahterakan petani, mengendalikan inflasi, memerangi kemiskinan. Tetapi tidak terlalu cekatan ketika berbicara tentang bagaimana semua itu bisa dicapai.
Debat mereka seperti pengungkapan daftar keinginan yang tergagap-gagap ketika diminta menjelaskan bagaimana merealisasi keinginan itu. Atau seperti sebuah judul tanpa teks. Kita hanya disajikan judul, tetapi meraba-raba sendiri tentang isinya karena kehilangan teks itu.
Sebuah perdebatan seharusnya menghadirkan perlawanan. Ada pikiran di seberang sana yang harus ditangkis atau dilawan dengan pemikiran di sebelah sini. Bila semua pemikiran berada dalam jalur yang sama, kita kehilangan perbedaan. Dan karena itu kehilangan alasan untuk memilih. Toh semuanya sama.
Terlihat sekali bahwa para kandidat tidak santai menghadapi debat. Mega tegang, Yudhoyono waswas, dan Kalla khawatir. Para kandidat menghadapi debat dengan beban seperti seorang calon doktor yang ingin mempertahankan disertasi dengan target cum laude.
Format debat terlalu akademik sehingga pikiran-pikiran genuine dan perilaku apa adanya dari kandidat tidak muncul. Semuanya takut melakukan kesalahan.
Padahal ada juga kesalahan yang mengandung kecerdasan. Misalnya ketika Jusuf Kalla membuka sepatu di depan publik untuk memperlihatkan merek JK collection. Membuka dan memamerkan sepatu di depan publik melanggar sopan santun. Tetapi ternyata hal itu mengundang impresi yang luas.
Beban lain yang terlihat adalah para kandidat terbelenggu oleh hukum televisi yang sangat mengutamakan show. Karena kesadaran tentang show, capres memaksa diri untuk tampil impresif dan mengabaikan aspek ekspresif.
Padahal sebuah debat televisi yang bertujuan untuk menaikkan elektabilitas, ekspresi tentang substansi, dan content adalah penting. Impresi yang dibangun tanpa ekspresi tidak bertahan lama.
Lebih dari itu, sebuah perdebatan calon pemimpin tertinggi bangsa haruslah mengandung aspek pencerdasan. Karena itu perdebatan harus ada dan lahir dari debat itu. Bila debat hanya menghadirkan daftar keinginan, sama dengan membeli buku yang cuma mencantumkan judul tanpa teks.
0 komentar:
Posting Komentar